Halaman

Jumat, 10 Juni 2011

Dimensi Gerak, Esensi Ibadah yang Terlupakan



Kalau kita kaji, setiap bentuk peribadatan dalam Islam, tidak lepas dari adanya gerakan. Kita ambil contoh, Shalat. Dari mulai takbiratul ihram, ruku, sujud, duduk antara dua sujud sampai salam, semuanya tidak terlepas dari gerak. Tidak ada shalat yang hanya diam saja tanpa ada pergerakan sama sekali.
Contoh lain adalah ibadah haji. Dalam haji lebih terlihat konsep dinamisasi gerakannya. Ada Sa’i, dari bukit shafa ke bukit marwah, merupakan bentuk pergerakan, ada thawaf mengelilingi ka’bah, juga bergerak, tidak ada sa’i atau thawaf yang diam saja ditempat, semuanya bergerak.

Jadi bisa dibilang bahwa salah satu esensi dari peribadatan yang ada dalam islam, - kalau kita pandang dari sudut pandang yang berbeda – adalah dimensi gerak. Jadi esensi ibadah dan esensi dari kehidupan ini adalah gerak / kedinamisan. Matahari, bumi, bulan, dan semua yang ada di alam ini bergerak semuanya. Tidak ada yang diam.
Jadi kalau kita mau meneladani konsep dalam beribadah, bergeraklah. Jangan pernah diam. Konsep bahwa diam itu adalah emas, tidak cocok dengan apa yang dicontohkan dalam bentuk-bentuk kedinamisan dari peribadatan tadi. Kalau kita ingin emas, maka bergeraklah, jangan diam. Sampai kapanpun kalau kita diam tidak akan pernah mendapatkan emas.

Kenapa saya ambil intisari dari shalat dan haji tadi adalah gerak?
Karena bergerak dan tidak diam, adalah merupakan salah satu ciri manusia produktif. Dari detik ke detik berikutnya, manusia produktif tidak lah diam, tapi senantiasa bergerak. Selesai dari satu pekerjaan, masuk ke dalam pekerjaan berikutnya.
Seperti yang difirmankan Allah dalam AlQur’an, “Jika kamu telah selesai dari suatu pekerjaan, kerjakanlah pekerjaan yang lain dengan sungguh-sungguh.”


Ketika penulis sedang mengerjakan proyek di Bogor, di salah satu sekolah yang ada di sana, ada motto yang menurut penulis sangat bagus untuk diterapkan, yaitu “LISA”, yang merupakan kependekan dari “ Lihat Sampah Ambil”. Jika ada siswa atau guru yang melihat sampah di sekitar sekolah tsb, maka akan segera diambil dan dimasukkan ke dalam tong sampah. Jadi sampah yang ada tidak dibiarkan sampai menggunung. Atau tidak ada prinsip biar orang lain yang melakukannya. Semuanya berprinsip, kalau aku yang menemukan sampah, maka akulah orang pertama yang harus membuangnya ketempat sampah saat itu juga, bukan orang lain.

Motto yang seperti ini, dan yang semisal dengannya bagus untuk diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Suami / Istri lihat sampah di dalam rumah, ambil dan masukkan ke tong sampah. Lihat perabotan rumah kotor, ambil dan bersihkan. Lihat pakaian berantakan dilemari, ambil dan rapikan. Pokoknya, segera rapikan dan bersihkan jika mendapati sesuatu yang tidak sesuai dengan yang seharusnya, jangan ditunda sampai esok hari.

Seorang sahabat pernah berkata, “Jika engkau di pagi hari maka janganlah menunggu waktu sore, dan jika engkau di sore hari maka janganlah menunggu pagi hari”.

Prinsip ”bergerak saat ini juga”  menunjukan suatu etos kerja yang tinggi dan semangat beramal yang menggebu-gebu. Seorang muslim sangatlah tidak pantas jika menunda-nunda suatu amal, karena waktu dalam pandangan Islam sangatlah mahal (oleh karena itu, dalam Al-Quran Allah swt banyak bersumpah dengan waktu). Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna mengatakan bahwa “waktu adalah kehidupan”.

Dari prinsip ini, akan terlahir sosok-sosok manusia 'amali. Manusia yang senantiasa menghiasi waktunya dengan nilai-nilai produktivitas yang tinggi, dan menjauhi nilai-nilai yang tidak akan mengantarkannya kepada suatu yang tidak produktif. Dan inilah sosok muslim yang ideal sebagaimana yang telah digambarkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya, ia berkata: “Di antara tanda bagusnya Islam seseorang, ia senantiasa meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi dirinya”.


by : Abi Salman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar