Beberapa hari ini di televisi diberitakan bahwa di daerah karang anyar Jawa Tengah, ada dua buah sekolah, yaitu MTs Al Irsyad dan SDIT AlBani (mohon dikoreksi kalau saya salah) yang menolak mengadakan upacara dengan alasan bahwa menyanyikan lagu Indonesia Raya dan menghoramati bendera merupakan perbuatan kemusyrikan.
Untuk lebih jelas membahas dua masalah tersebut, berikut saya tampilkan tulisan dari Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisy yang berjudul Ghuluw Fit Takfier Jilid 1. Selamat menganalisa..
Tidak Membedakan Antara Syi’ar-Syi’ar Kekafiran Dan Sebab-Sebabnya Yang Nampak Jelas Dengan Sarana-Sarana Penghantar Atau Tanda-Tandanya Yang Tidak Cukup Dengan Sendirinya Untuk Memastikan Takfier
Dan di antara kekeliruan-kekeliruan yang sering terjadi dalam hal takfier juga adalah tidak membedakan antara syi’ar-syi’ar kekafiran dan sebab-sebabnya yang nampak jelas dengan sarana-sarana-sarana penghantar atau tanda-tandanya yang tidak cukup dengan sendirinya untuk memastikan pengkafiran.
Telah kami ketengahkan kepada anda bahwa Islam itu memiliki ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain, dan bahwa siapa yang menampakkannya maka hukum asalnya adalah Islam selama tidak nampak darinya pembatal keIslaman.
Kemudian ketahuilah begitu juga bahwa Islam memiliki tanda-tanda dan cirri-ciri yang banyak, walaupun dengan sendirinya tidak cukup untuk memastikan keIslaman (seseorang), akan tetapi ia menjadi bahan pertimbangan untuk hati-hati, tabayyun dan tidak tergesa-gesa di dalam takfier, penghalalan darah dan harta serta pembolehan ‘ishmah, karena ia adalah sumber dugaan akan keIslaman, dan di antara hal itu adalah:
(1). Ucapan salam: ia adalah qarinah dan salah satu tanda dari tanda-tanda orang islam, akan tetapi ia bukan bukti yang pasti akan keIslaman, karena banyak orang-orang kafir mengucapkannya, sebagaimana dalam hadits Anas yang muttafaq ’alaih: “Bila ahlul kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah: “Wa’alaikum” oleh sebab itu maka ia saja tidak cukup untuk memastikan status keIslaman, akan tetapi keberadaan tanda ini menjadi pendorong untuk bersikap hati-hati, tabayyun dan tidak tergesa-gesa dalam takfier dan bersegera untuk menghalalkan darah dan harta, sebagaimana yang diwasiatkan Allah tabaraka wa ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) dijalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan seorang mu’min “(lalu ia membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan didunia, karena disisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (An-Nisaa’: 94)
Allah Tabaraka wa Ta’ala melarang kaum mu’minin bersikap tergesa-gesa mengkafirkan orang yang menampakkan tanda ini, dan Dia mengajak mereka untuk meneliti keadaannya dan tidak bersegera menghalalkan darah dan hartanya. Bepergian di muka bumi adalah safar dan perang, maka ia adalah isyarat yang menunjukkan bahwa hal itu bukan di Daarul Islam. Al-Bukhari, At-Tirmidzi dan yang lainnya meriwayatkan tentang sebab turun ayat ini dari Ibnu Abbas, berkata: Seorang laki-laki dari Bani Sulaim melewati sekelompok sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sembari menggiring kambing-kambingnya, terus ia mengucapkan salam kepada mereka, mereka berkata: “Ia tidak mengucapkan salam kepada kita kecuali untuk melindungi dirinya dari kita.” Maka mereka mengejarnya terus membunuhnya, dan mereka datang dengan kambing-kambingnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka turunlah ayat itu.
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata: (Dan di dalam ayat ini ada dalil yang menunjukkan bahwa orang yang menampakkan suatu dari tanda-tanda Al-Islam tidaklah halal darahnya sehingga statusnya diuji, karena salam adalah tahiyyah kaum muslimin, sedangkan tahiyyah mereka pada zaman jahiliyyah berbeda dengan hal itu, sehingga ini menjadi satu tanda….) Hingga ucapannya (Dan dari apa yang saya sebutkan ini tidaklah mesti menghukumi keIslaman orang yang hanya mencukupkan atas hal itu dan (tidak mesti pula) memberlakukan hukum-hukum kaum muslimin atasnya, akan tetapi mesti ada pengucapan dua kalimah syahadat dengan rincian-rincian (perbedaan) di dalam hal itu antara ahlul kitab dengan yang lainnya, wallahu ta’ala a’lam). Dari Fathul Bari Kitabut Tafsir Bab 17
Dan di antara yang menguatkan bahwa tanda ini dan yang lainya yang bukan termasuk cirri-ciri khusus Islam tidaklah cukup untuk memastikan keIslaman seseorang, adalah apa yang dikeluarkan Al Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (1112) dan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan 9/203 dari ‘Uqbah Ibnu Amir Al-Juhanniy “(Bahwa beliau melewati seorang laki-laki yang tampangnya tampang orang muslim, terus orang itu mengucapkan salam, maka ‘Uqbah membalasnya: Wa’alaikas salam wa Rahmatullahi wa barakatuhu,” maka budaknya berkata kepada beliau: Apa engkau tahu kepada siapa engkau menjawab salam? Beliau berkata: Bukankah dia orang muslim? Orang-orang berkata: Bukan, tapi dia itu nasrani, maka ‘Uqbah bangkit terus mengejar orang itu hingga bisa menyusulnya, terus berkata: Sesungguhnya rahmat Allah dan berkah-Nya adalah bagi orang-orang mu’min, akan tetapi semoga Allah memanjangkan hidupmu dan memperbanyak hartamu)[1]
Perhatikan bagaimana sang sahabat menjawab salam laki-laki ini, dikarenakan dia menampakkan dua dari tanda-tanda Islam, yaitu salam dan penampilan kaum muslimin, dan bersama ini ternyata orang itu bukan muslim. Begitulah halnya status tanda-tanda yang tidak mencapai tingkatan ciri-ciri khusus Islam.
Dan perbuatan sang sahabat ini tidaklah bermasalah karena hal itu terjadi di Daarul Islam, dengan dalil bahwa orang nasrani itu termasuk Ahlul Dzimmah sebagaimana yang bisa dipahami dari doa itu dan sebabnya, sedangkan hukum asal di Daarul Islam adalah engkau mengucapkan salam terhadap orang yang engkau kenal dan orang yang tidak engkau kenal sebagaimana dalam hadits (Mutaffaq ‘alaih) karena orang murtad itu tidak diakui hidup di sanadan dikarenakan berbedanya (penampilan) kaum muslimin dari yang lainnya di dalamnya. Dan bila sebagian kafir dzimmiy tidak membadakan (panampilan diri)nya dari kaum muslimin, maka terjadilah isykal seperti ini, dan tidak ada dosa di dalamnya atas orang muslim, karena ia berdiri di atas nash dan melakukan apa yang diperintahkannya.[2]
(1) Pemberian Nama Dengan nama-nama Islamiyyah seperti Muhammad dan yang lainnya.
Ini juga satu tanda yang menuntut orang untuk tatsabbut (teliti), hati-hati dan tidak bersegera melakukan takfier, namun demikian ia saja tidak cukup untuk memastikan keIslaman orangnya, karena banyak orang-orang kafir dan murtaddin bernamakan nama-nama kaum muslimin pada hari ini terutama setelah lenyapnya daulatul Islam dan berdirinya daulah yang melindungi riddah dan mengakui kaum murtaddin serta tidak mengharuskan orang-orang nashrani dengan sesuatupun dari syarat-syarat yang diberlakukan terhadap orang-orang kafir dzimmi yang mana mereka dilarang dari menggunakan nama-nama dan kunyah kaum muslimin di masa lalu. Adapun hari ini segalanya telah berbaur dengan perlindungan undang-undang kafir dan para arbabnya.
Sungguh saya telah mendengar dari sebagian orang yang belum dikaruniai anak dari kaum Nashara: orang yang bernadzar bila dikaruniakan anak akan dinamai Muhammad, terus mereka melakukannya.
(2) Penampilan Dhahir, berupa pakaian kaum muslimin, sorbannya atau jenggot.
Ini adalah qarinah-qarinah, akan tetapi tidak bisa memastikan (keIslamannya) karena banyak orang-orang kafir bersyerikat di dalamnya terutama jenggot, dan terutama ahlul kitab tidak memiliki pakaian khusus yang mereka diwajibkan komitmen dengannya sebagaimana keadaan mereka di Daarul Islam, namun bila kumpul jenggot dengan pakaian kaum muslimin dan ciri orang-orang yang saleh di antara mereka maka ia menjadi qarinah yang kuat.
Muhammad Ibnu Hasan Asy-Syaibani berkata dalam As Sair Al Kabir: (Dan bila kaum muslimin masuk ke dalam suatu kota kaum musyrikin secara paksa maka tidak apa-apa mereka membunuhi laki-laki yang mereka temui kecuali bila mereka melihat laki-laki berpenampilan kaum muslimin atau panampilan seperti orang-orang kafir dzimmi yang mendapatkan jaminan kaum muslimin. Maka dalam keadaan seperti ini mereka wajib tatsabbut dalam urusannya sehingga jelas bagi mereka status dia). Pensyarah As Sarkhasiy berkata: (Karena mengacu pada penampilan adalah suatu hukum asal pada suatu yang tidak diketahui hakikatnya, Allah ta’ala berfirman:
“Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka” (Al Fath: 29)
Dan firmannya ta’ala:
“Kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya” (Muhammad: 30)
Beliau berkata: Dan kapan saja terjadi kekeliruan dalam pembunuhan, maka tidak mungkin diperbaiki, dan dalam penangguhannya hingga jelas statusnya tidaklah menelantarkan sesuatupun dari mashlahat kaum muslimin. Dan oleh sebab itu mereka seyogyanya tatsabbut dalam urusannya hingga jelas bagi mereka status dia. Ini dikarenakan penampilan itu di dalam keadaannya yang memiliki kemungkinan adalah tidaklah di lebih rendah dari berita orang fasiq, sedangkan Allah ta’ala memerintahkan kita untuk tatsabbut di sana, maka di sini adalah lebih utama } As Sair Al Kabir (4/1444)
(3) Melakukan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, membantu orang yang susah, menolong orang yang didzalimi, serta memerintahkan kepada kebaikan dan akhlaq-akhlaq terpuji.
Sesungguhnya hal ini tidak khusus bagi kaum muslimin, namun ada pada banyak orang-orang kafir juga seperti yang sudah dimaklumi. Dari Ummu Salamah berkata: Saya berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hisyam itu menyambungkan tali persaudaraan, menjamu tamu, membebaskan tawanan, memberikan makanan, andai ia ada sekarang tentu dia masuk Islam, apakah hal itu bermanfa’at baginya? Beliau berkata: tidak, sesungguhnya ia memberikan hal itu karena dunia, dia menyebutkannya dan memujinya, serta ia tidak pernah satu haripun mengatakan “Ya Tuhanku ampunilah kesalahanku di hari pembalasan”} Dikeluarkan oleh Ath Thabaraniy dalam Al Kabir dan Abu Ya’la.
Dan begitu juga dengan yang diriwayatkan Muslim dan yang lainnya dari hadits Aisyah bahwa ia juga bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Ibnu Jud’an, ia berkata: Dia pada zaman jahiliyyah menyambung tali persaudaraan dan memberi makan yang miskin, apakah hal itu bermanfaat bagi dia? Beliau berkata: Tidak, wahai Aisyah, sesungguhnya ia tidak pernah mengatakan seharipun “Ya Tuhan ampunilah kesalahanku di hari pembalasan”
Dan begitu juga Hadits Hakim Ibnu Hizam yang mutaffaq ‘alaih, bahwa ia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Berikabar aku tentang hal-hal yang saya anggap ibadah yang saya lakukan pada zaman jahiliyyah berupa shadaqah dan memerdekakan, atau silaturrahim, apakah ada pahala di dalamnya? Maka beliau berkata shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Engkau masuk Islam di atas kebaikan yang telah engkau lakukan”
Dan hal ini bisa disaksikan pada realita, karena pasti saja di antara orang-orang kafir ada orang yang mencintai akhlaq-akhlaq yang mulia dan berusaha menolong orang yang kesusahan. Dan organisasi-organisasi yang dalam istilah modern mereka namakan “organisasi kemanusiaan” banyak berada di tengah orang-orang kafir, ia berperan membantu orang yang membutuhkan, mendanai, mengobati, dan ihsan kepada yang cacat meskipun berbagai macam tujuannya. Ini saja tidak cukup untuk memastikan keIslaman, meskipun orang Islam adalah lebih utama dengan akhlaq yang terpuji, oleh sebab itu ia tergolong tanda-tanda keIslaman.
Kesimpulannya: Sesungguhnya tanda-tanda ini dan yang lainnya tidaklah sampai pada ciri-ciri khusus bagi kaum muslimin saja dan mereka berbeda dengannya dari yang lainnya, meskipun ia saja tidak cukup untuk memastikan keIslaman (orang) di payung kondisi jahiliyyah modern yang segalanya bercampur baur, terutama dengan keberaddan legalitas undang-undang buatan terhadap kemurtaddan, perlindungannya terhadap kaum murtaddin dan tidak diharuskannya ahlul kitab dengan pakaian khusus, bahkan justeru banyak kaum muslimin tasyabbuh dengan orang-orang kafir, akan tetapi ia menghalangi dari sikap tergesa-gesa terhadap takfier. Ia pendorong untuk tatsabbut, hati-hati dan tidak cepat menghalalkan darah dan harta. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam ayat:
“Maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu: “kamu bukan seorang mu’min” (An-Nisaa’: 94).
Ibnu Jarir Ath Thabariy ((maka telitilah)), beliau berkata: hati-hatilah dalam membunuh orang yang statusnya isykal atas kalian, kalian tidak mengetahui hakikat keIslaman dan kekafirannya, janganlah tergesa-gesa terus kalian membunuh orang yang statusnya samar atas kalian, dan janganlah memberanikan membunuh seseorang kecuali atas membunuh orang yang kalian telah ketahui secara meyakinkan memerangi kalian dan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya). selesai
Sehingga setelah ini semua mungkinkah kami mengatakan bahwa tanda-tanda ini saja tidak cukup untuk memastikan keIslaman, akan tetapi ia adalah memberikan praduga keIslaman. Orang yang menampakkannya lebih dekat kepada keIslaman daripada kekafiran, karena Allah Ta’ala telah memerintahkan kita dalam hal seperti itu untuk tidak mengkafirkannya, akan tetapi Dia subhanahu wa ta’ala mengajak kita di dalamnya untuk tabayyun, karena ia adalah tanda-tanda keIslaman yang tidak qath’iy dan bukan seperti ciri-ciri khusus yang khusus bagi ahlul Islam, dan seandainya ia seperti itu tentulah kita tidak butuh pada tabayyun dan tatsabbut.
Bila engkau telah mengetahuinya, maka pada hal sebaliknya ketahuilah bahwa kekufuran juga memiliki syi’ar-syi’arnya yang jelas yang merupakan ciri-ciri khusus orang-orang kafir dan kekafiran-kekafiran mereka. Dan ia tergolong sebab-sebab takfier yang nyata yang menunjukkan atas kekafiran, dan ada tidaknya takfier tergantung padanya.
Kekafiran juga memiliki jalan-jalan yang menghantarkan, tanda-tanda, bukti-bukti, dan cirri-ciri, yang dengan sendirinya tidak cukup untuk memastikan takfier, terutama pada payung lemahnya ikatan-ikatan iman dalam jiwa kaum muslimin dan merebaknya maksiat di tengah-tengah mereka, akan tetapi tetap di dalamnya mesti tabayyun dan tatsabbut.
Sebagaimana kita tidak memastikan keIslaman seseorang kecuali terhadap orang yang telah menampakkan sesuatu dari ciri-ciri khususnya. Dan tanda-tanda saja tidak cukup dari masyarakat sekarang untuk memastikan keIslamannya, maka begitu juga kita tidak mengkafirkan dengan sebab tanda-tanda dan bukti-bukti kekufuran saja akan tetapi kita tidak mengakfirkan kecuali dengan sebab-sebab dhahir yang sharih yang terbatas pada ucapan atau perbuatan yang mukaffir.
Di antara tanda-tanda yang sendirinya tidak cukup untuk takfier:
(1). Tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir, dalam hal pakaian dan penampilan mereka, berupa menggundulkan jenggot dan lain-lainnya. Ini semuanya tergolong dosa-dosa yang tidak mukaffir. Dan takfier dengannya saja adalah jalan kaum yang ghuluw di dalam takfier, kecuali bila ia tasyabbuh dengan mereka dalam suatu yang merupakan syi’ar-syi’ar dan ciri-ciri khusus dien mereka, seperti menyelarasi mereka dalam suatu dari ibadah-ibadah syirik mereka atau ucapan-ucapan kufur mereka, atau pakaian-pakaian mereka yang menunjukkan secara sharih terhadap kekafiran mereka, seperti memakai Salib yang nyata[3], karena sesunggnya salib itu termasuk ciri-ciri khusus kekafiran dan kemusyrikan orang-orang nashrani dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensifatinya sebagai berhala (watsan) dalam hadits ‘Addiy Ibnu Hatim sebagaimana dalam riwayat At-Tirmidzi dan Ibny Jarir Ath-Thabariy dalam tafsirnya.
Dan seperti hal itu mengenakan pakaian keagamaan mereka yang melambangkan dien mereka yang batil, seperti mengenakan zanar (ikat pinggang khusus) yang disebutkan para ulama dalam kitab-kitab mereka sebagaimana dikatakan di dalam Raudlatuth Thalibin (10/69) dalam kitab Ar Riddah: (Andai ia mengikatkan zanar di pinggangnya maka ia kafir. Dan para ulama berselisih tentang orang yan meletakkan peci majusi di atas kepalanya, sedangkan pendapat yang shahih bahwa ia tidak kafir. Seandainya ia mengikatkan tali di pinggangnya, maka ditanyakan tentangnya, terus ia berkata: Ini adalah zanar,” maka mayoritas ulama mengatakan bahwa ia kafir. Dan seandainya ia mengenakan zanar di pinggangnya dan masuk kedalam Daarul harbi untuk berniaga maka ia kafir, dan bila masuk untuk membebaskan para tawanan maka ia tidak kafir)
Dan perhatikan ucapannya: (seandainya ia mengikatkan tali di pinggangnya, maka ditanyakan tentangnya ….) Dan itu dikarenakan ia mengikuti hal-hal yang muhtamal yang tidak jelas.
Adapun sesuatu yang bukan tergolong busana mereka yang melambangkan ajaran mereka yang batil atau aqidah mereka yang syirik, akan tetapi tergolong keumuman busana, pakaian, dan penampilan mereka, maka tidak halal takfier dengannya saja.
Dan hal itu dibuktikan dengan apa yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah Ibnu ‘Amr bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dua pakaian mu’ashfar yang dia kenakan, maka beliau berkata: “Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang kafir, janganlah kamu mengenakannya,” dan beliau tidak lebih dari itu, seandainya sekekar pemakaiannya adalah kekafiran tentulah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya dan mengajaknya untuk bertaubat, dan tentulah akan dahsyat pengingkaran beliau terhadapnya serta beliau sangat keras dalam menghati-hatikan darinya sebagaimana sikap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengingkaran syirik dan kekafiran.
Dan sungguh dalam hal tasyabbuh ini telah ada nash-nash yang merupakan ancaman syariat terhadapnya dengan bentuk ungkapan yang mengandung kemungkinan takfier. Dan sebagian kaum yang ghuluw menggunakannya dalam setiap bab tasyabbuh, padahal yang benar adalah ada rincian di dalamnya.
Dan itu seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من تشبه بقوم فهو منهم
“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia tergolong mereka bagian dari mereka.” (Bagian dari hadits riwayat Al Imam Ahmad, dan Abu Dawud dari Ibnu Umar, dan Isnadnya dinilai Jayyid oleh Syaikhul Islam dalam kitabnya “Iqtidlaush Shirathil Mustaqim (94))
Syaikhul Islam berkata dalam kitabnya Iqthidlaush Shiratil Mustaqim Mukhalafatu Ashhabil Jahim} hal (95): (Hadits ini minimal menuntut pengharaman tasyabbuh dengan mereka, walaupun dhahirnya menuntut kekafiran orang yang menyerupai mereka, sebagaimana dalam firman-Nya dan “siapa yang tawalli terhadap mereka di antara kalian maka ia termasuk golongan mereka” (Al Maidah: 51) kemudian beliau berkata dalam takwilnya: (maka terkadang ini dibawa kepada tasyabbuh yang muthlak, maka sesungguhnya ia memastikan kekafiran dan menuntut pengharaman bagian-bagian itu, dan terkadang dibawa pada status bahwa dia itu bagian bagi mereka dalam kadar kesamaan yang dia menyerupai mereka di dalamnya, bila itu kekafiran atau maksiat atau syiar bagi maksiat maka hukumnya seperti itu).
Perhatikan rincian ini, sesungguhnya ia sangat penting, dan di dalamnya ada penjelasan bahwa tasyabbuh dengan orang-orang kafir itu ada yang merupakan tasyabbuh dalam kekafirannya, atau tasyabbuh dalam hal maksiatnya, maka setiap macam hukumnya sesuai dengan apa yang di serupainya, sedangkan tasyabbuh muthlak yang menggabungkan hal itu semua adalah kekafiran secara meyakinkan, karena masuknya kekafiran di dalamnya. Dan ini dijabarkan dan diperjelas oleh firman Allah Tabaraka wa ta’ala:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa penyekutuan terhadapNya dan mengampuni dosa di bawah itu bagi orang yang dikehendakiNya.” (An Nisa: 48)
Dan dijelaskan juga dengan keberadaan bahwa seandainya seluruh bab-bab tasyabbuh dengan orang-orang kafir itu adalah kekafiran, tentulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menyelarasi mereka sesaat pun atas apapun, padahal telah tsabit bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal hijrahnya (senang menyelarasi ahlul kitab dalam suatu yang tidak ada perintahnya) (mutaffaq ‘alaih) ). Maka ini menunjukan akan wajibnya melakukan rincian, serta wajibnya memahami hadits yang yang lalu sesuai timbangan ini semua.
Dan tidak boleh dikatakan sebagaimana yang dikatakan sebagian kaum yang ghuluw bahwa setiap orang yang tasyabbuh dengan orang-orang kafir di dalam apa saja maka dia itu kafir. Seperti contoh: jika seseorang menggunduli jenggotnya maka dia bagian dari mereka. Dan dari hal ini mereka memvonis kafir dan menghalalakan darah dan harta dengan sekedar menggundul jenggot atau menggunakan pakaian orang kafir pada umumnya. Namun yang benar adalah, siapa yang tasyabbuh dengan kekafiran-kekafiran mereka, maka sesungguhnya ia telah kafir dan menjadi bagian dari mereka, dan siapa yang tasyabbuh dengan maksiat-maksiatnya seperti menggunduli jenggot dan yang lainnya, maka sesungguhnya ia termasuk bagian dari mereka dengan kadar maksiat-maksiat tersebut dan tidak boleh menyertakan dia dengan dengan mereka dalam hukum-hukum takfir. Dan siapa yang tasyabbuh dengan mereka secara muthlak maka ia telah menggabungkan keburukan mereka seluruhnya, dan ia tergolong mereka dalam semua itu.
Dan masih ada macam tasyabbuh terhadap mereka dalam tuntunan mereka yang dzahir yang bukan tergolong kekafiran dan tidak ada maksiat di dalamnya, maka itu juga masuk dalam keumuman larangan tasyabbuh dengan mereka, karena ia menghantarkan pada jalan yang dilarang. Oleh sebab itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al Iqtidla: (Penyerupaan itu menghantarkan kepada kekafiran atau maksiat atau kepada keduanya secara umum ) Hal: 232.
Sebagaimana beliau menyebutkan dalam banyak tempat lain bahwa penyerupaan dalam penampilan dhahir itu mewariskan semacam kasih sayang, kecintaan dan loyalitas di dalam batin, dan oleh sebab itu syari’at memotong jalan pintu ini dan menutup sarana pengahantar ke sana dengan larangan tasyabbuh terhadap mereka secara muthlak. Akan tetapi tergolong suatu yang dimaklumi di kalangan para ulama dalam kaidah-kaidah fiqh bahwa (suatu larangan bila itu untuk menutup suatu kerusakan maka dibolehkan untuk kamashlahatan).[4] Syaikhul Islam telah berbicara tentang kaidah ini di dalam Al Fatawa dan beliau isyaratkan dalam Al Iqtidla, oleh sebab itu beliau dalam Al Iqtidla membolehkan tasyabbuh dalam penampilan dzahir mereka yang tidak ada kekafiran di dalamnya untuk kebutuhan dan kemashlahatan, beliau berkata di dalam kitabnya hal 192 (…..menyelisihi mereka tidak dilakukan kecuali setelah tampak dan jayanya Dien ini, seperti dalam berjihad dan pengharusan mereka dengan jizyah dan kehinaan. Tatkala kaum muslimin di awal perjalanannya lemah maka tidak disyariatkan menyelisihi mereka, dan tatkala dien ini telah tampak kejayaannya, maka hal itu telah disyariatkan.
Dan seperti itu pada masa sekarang: Seandainya seorang muslim di Daarul Harbi atau Daarul Kufri yang bukan Harbi, maka ia tidak diperintahkan untuk menyelisihi mereka dalam penampilan dzahir karena terdapat bahaya bagi seorang muslim dalam hal itu, bahkan terkadang disunnahkan bagi laki-laki atau diwajibkan atasnya untuk terkadang menyertai mereka dalam penampilan dhahir mereka, bila dalam hal itu terdapat mashlahat dieniyyah berupa mendakwahi mereka kepada dien ini dan mengamati rahasia urusan mereka untuk mengabarkan kaum muslimin akan hal itu, atau menolak bahaya mereka dari kaum muslimin serta tujuan-tujuan baik lainnya.
Adapun di Daarul Islam wal Hijrah yang mana Allah telah mengokohkan dien-Nya ini di negeri itu dan Allah jadikan kehinaan dan jizyah dengannya atas kaum kafir, maka di dalamnya disyariatkan mukhalafah (menyelisihi) mereka itu, dan bila telah nampak bahwa menyelarasi mereka dan menyelisihi mereka itu adalah berbeda hukumnya sesuai perbedaan zaman dan tempat, maka nampaklah hakikat hadits-hadits itu di dalam hal ini.
Saya berkata: Suatu yang keadaannya seperti itu dan dia boleh untuk mashlahat dan wajar, maka tidak boleh sama sekali menyamakan hal ini dengan mukaffirah dan pembatal keIslaman yang tidak boleh dianggap mashlahat sama sekali.
Dan sudah maklum pada masa sekarang keadaan mayoritas kaum muslimin dan orang-orang awamnya, serta keterpurukan mayoritas mereka pada kemungkaran-kemungkaran dan maksiat-maksiat macam ini yang dengannya mereka meniru orang-orang kafir, “bahkan di kalangan khusus mereka ada jama’ah-jama’ah Islamiyah yang menganut paham -sungguh sangat disayangkan- pembolehan menggunduli jenggot, dan menurut mereka tidak ada dosa dalam hal taqlid terhadap orang-orang kafir, menyerupai tuntunan dhahir mereka dan adat kebiasaannya!” Melakuakan takfier dengan hal seperti ini adalah membuka pintu yang besar untuk takfier jumhur ahli maksiat dari kaum muslimin tanpa sebab hal yang sharih dari sebab-sebab takfier, bahkan hal itu bisa menggiring kepada pengkafiran orang-orang khusus dari kaum mu’minin dan mujahidin yang secara dlarurat mereka -di banyak negara yang mana para thagut menabuh genderang perang di dalamnya terhadap kaum mu’minin- perlu untuk menyembunyikan dirinya dan merubah pakaiannya serta menggunduli jenggotnya, karena takut kekejaman dan penangkapan yang biasa dilakukan oleh para aparat thagut atas dasar jenggot dan penampilan. Dan dalam hadits yang diriwayatkan Al Bukhariy secara ta’liq bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Miqdad: (Bila orang mu’min menyembunyikan imannya di tengah orang-orang kafir, terus dia menampakan keimanannya, terus kamu membunuhnya, maka begitu juga dulu engkau menyembunyikan keimananmu di Mekkah) (6358).
2. Dan seperti hal itu, membawa paspor-paspor negara kafir dan mengambil kewarganegaraannya yang jahiliyyah yang diharuskan para thagut atas manusia pada masa sekarang. Dan sudah maklum apa yang sudah terjadi di negeri-negeri kaum muslimin pada masa sekarang dalam hal ini, dan mereka mempersulit kehidupan para muwwahidin. Mereka tidak bisa bergerak, tidak bisa berpindah-pindah, tidak bisa mencari nafkah, tidak bisa menikah dan tidak bisa saling mewarisi kecuali dengan berkas-berkas mereka atau pengakuan-pengakuan mereka yang mereka haruskan atas manusia dan mereka wajibkan. Dan sangat-sangat sedikit sekali yang kekuatannya, atau sukunya atau kemampuannya dan keadaannya memungkinkan dia untuk mengambil ‘azimah (hokum pokok) sehingga ia tidak butuh kepadanya, (ini) tidak ada pengaruh baginya dalam penetapan vonis di dalam keadaan realita ini. Dan seseorang yang berakal tidak mampu mengharuskan seluruh kaum muslimin, yang lemah, yang tua, yang renta, anak-anak dan orang-orang dewasanya untuk tidak membutuhkan hal itu dan hidup di padang pasir dan pedalaman atau di lereng gunung, dan kalau tidak seperti itu maka mereka dianggap kafir!! yang tunduk terhadap undang-undang kafir!! karena sesungguhnya ketundukkan yang dipaksakan yang menyeluruh yang dipaksaan oleh para thagut pada masa kini terhadap manusia dengan kekuasaannya tidaklah seperti ketundukkan dan inqiyad yang diusahakan dan dipilih oleh para aparat thagut, kaki tangannya serta para abdinya[5]. Dan tidak boleh dikatakan bahwa setiap orang yang membawa paspor atau kewarganegaraan negara para thagut itu adalah dia itu ridha dengan kekuasaan mereka atau bahwa para thagut itu telah ridha terhadap dia, sebagaimana yang saya dengar dari orang yang pernah tidak membutuhkan hal itu, dia menyatakan hal itu, terus mereka meninggalkan pendapat itu setelah merasa sempitnya bumi ini dan mereka kembali memakai paspor-paspornya.
Sungguh dahulu orang kafir memberikan jaminan kepada orang muslim pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah. Dan itu tidak berarti selamanya keridhaan salah satunya terhadap dien yang lainnya. Bagaimana mungkin sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerima perlindungan Al Muth’im Ibnu ‘Adiy tatkala beliau kembali ke Mekkah di hari orang-orang Thaif mengusir beliau tatkala beliau datang kepada mereka untuk mendakwahi mereka, dan beliau mengakui Abu Bakar atas jaminan Ibnu Ad Dughnah baginya (sebagaimana yang akan datang) dan juga jaminan Al ‘Ash Ibnu Wail serta jaminan keamanan yang beliau berikan kepada ‘Umar setelah beliau masuk Islam.
Jiwar (jaminan perlindungan) adalah penjagaan, perlindungan, mempermudah iqamahnya seseorang dan pemberian jaminan dalam pencahariannya, bahkan dalam jiwar ini terkandung makna-makna yang lebih dari apa yang diberikan oleh pemerintah-pemerintah pada masa sekarang terhadap para pemegang paspor-paspornya. Namun demikian, sungguh permusuhan para sahabat terhadap ajaran kaumnya dan sikap bara’ mereka dari tuhan-tuhannya adalah lebih jelas dari matahari di siang bolong
Dan inilah kami walillahil hamd, dan setiap saudara yang berada di atas jalan ini, kami tidak ridla terhadap thaghut-thaghut itu dan merekapun tidak ridla terhadap kami, kami kafirkan mereka secara terang-terangan, kami kafir terhadap mereka, kami berlepas diri dari mereka dan undang-undang mereka, kita perdengarkan kepada mereka apa yang tidak mereka sukai siang dan malam, dan kami terang-terangan menyatakan bara’a dari mereka, serta kami tampakkan permusuhan dan kebencian terhadap mereka sedangkan kami memiliki paspor, surat-surat resmi dan akte negeri ini, dan kami memohon kepada Allah untuk membantu kami agar tidak membutuhkan hal itu dan segala yang berkaitan dengan thaghut, dan Dia jadikan bagi kami pelindung dari sisi-Nya serta menjadikan bagi kami penolong dari sisi-sisinya. Ya memang terkadang kami dipersulit, surat-surat itu dirampas atau dibekukan dan tidak diperbaharui, akantetapi hal ini tidak tentu dan tidak sama di setiap negeri. Di barat mereka memberikan keleluasaan dalam kebebasan sehingga hal seperti ini tidak terjadi bagaimanapun keyakinan pemegang paspor itu walaupun ia terang-terangan dengannya. Maka nampaklah bahwa membawa paspor itu tidak mesti darinya ridha kedua belah pihak terhadap yang lainnya.
Dan sesungguhnya masalah ini tidak pasti, sehingga tidak boleh takfier dengan sekedar hal itu, kecuali ada kaitan dengannya atau disyaratkan untuk mengeluarkan dan mendapatkannya melakukan ucapan yang membuat kafir seperti bersumpah untuk loyal terhadap orang-orang kafir. Negara mereka dan undang-undangnya, atau perbuatan yang membuat kafir seperti persyaratan masuk bergabung dalam pasukan tentara kafir. Tidak ada perbedaan dalam hal ini antar kewarganegaraan barat dan timur pada zaman kita, para thaghut barat adalah ikhwan bagi para thaghut timur, bahkan pada masa sekarang ini para thaghut barat lebih lembut dalam memberikan kelapangan terhadap rakyatnya dan lebih perhatian terhadap mereka, serta lebih jujur dalam menerapkan kebebasan mereka dengan segala baik buruknya.
Di barat dan negara-negara kafir lainnya selain Arab, terdapat orang-orang muslim yang shalih yang berlepas diri dari negara-negara kafir yang mana mereka hidup di dalamnya dan yang menampakkan kekafiran terhadap thaghutnya, hal yang menjadikan takfier atas dasar kewarganegaraan dan paspor saja suatu kesalahan yang buruk dan hal yang musykil sekali.
Adapun orang yang mengklaim bahwa dalam permohonan untuk mendapatkan paspor terkandung tahakum kepada thaghut, dan terus dia mengkafirkan banyak manusia dengan klaimnya ini, maka sesungguhnya dia itu ghuluw lagi ngawur dalam hokum-hukum takfier, dia menggadaikan dirinya lagi lagi tidak mengetahui tahakum yang mukaffir, dan dia tidak bisa membedakan antara apa yang Allah syariatkan berupa hudud dan hukum-hukum dan Dia jadikan sebagai hal tauqifiy yang tidak Dia izinkan bagi hamba-hamba-Nya untuk mengganti atau merubahnya atau ikut campur tangan dalam menetapkannya, dengan apa yang Dia biarkan terhadap ijtihad mereka dan Dia izinkan mereka untuk menetapkannya. Dan orang seperti ini tidak halal berbicara dalam hukum yang berbahaya ini selama dia tidak bissa membedakan antara dua macam hukum syar’iy dan hukum idariy. Dan akan datang perbedaan keduanya nanti.
Begitulah…. Sebagian mereka telah berdalil atas takfier dengan hal itu dengan apa yang diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dari Thariq Ibnu Syihab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: (seorang laki-laki masuk surga karena lalat dan seorang laki-laki masuk neraka karena lalat) para sahabat bertanya: Bagaimana itu wahai Rasulullah? Beliau berkata: Dua laki-laki lewat suatu kaum yang memiliki berhala yang tidak seorangpun boleh melewatinya sehingga ia mempersembahkan sesuatu baginya, maka mereka berkata kepada salah seorangnya: “Persembahkanlah” Orang itu berkata: “Saya tidak mempunyai apa-apa” mereka berkata: “Persembahkanlah walaupun seekor lalat, maka ia mempersembahkan lalat, terus mereka membiarkan dia lewat, kemudian dia masuk neraka. Terus mereka berkata kepada yang lain: “Persembahkanlah” Dia berkata: “Saya tidak mungkin mempersembahkan sesuatupun kepada selain Allah azza wa jalla” maka mereka memenggal lehernya, terus dia masuk surga”
Mereka berdalil dengan hadits atas kafirnya orang yang menerima paspor orang kafir atau membawanya, karena orang yang diizinkan lewat oleh mereka masuk neraka!!
Bantahan atas hal ini adalah dikatakan: Sebelum berdalil hendaklah menetapkan keabsahan dalilnya terkebih dahulu. Hadits ini tidak tsabit secara marfu’. namun diriwayatkan secara mauquf. Ya disebutkan oleh Syaikh Sulaiman Ibnu Abdil Wahhab dalam kitab (Taisir Al-Azis Al Hamidd Syarhi Kitabit Tauhid) dalam ( Bab Ma Jaa’a Fidzdzabhi Lighairillah) beliau menisbatkan kepada Al Imam Ahmad, telah mengabarkan kepada kami Muawiyah, telah mengabarkan kepada kami Al-A’masy dari Sulaiman Ibnu Maisarah dari Thariq Ibnu Syihab Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: (terus beliau tuturkan hadits………..)
Thariq Ibnu Syihab adalah Al Bajali, Al Ahmasiy, yang kesahabatannya masih diperselisihkan, di mana dikatakan bahwa dia itu pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun ia tidak mendengar sesuatupun darinya, maka ia mursal dan Syaikh Sulaiman telah menukil dari Ibnu Qayyim ucapannya: (Sungguh saya telah mentela’ah Al-Musnad, namun saya tidak mendapatkannya di dalamnya, maka bisa jadi Al-Imam meriwayatkannya dalm kitab Az-Zuhd atau yang lainnya)
Hal Saya berkata: Dan ia memang seperti apa yang beliau katakan, ia ada di dalam kitab Az-Zuhd no 84 hal 32-33 dari riwayat puteranya Abdullah dari beliau dengan isnad yang sama namun beliau tidak memarfu’kannya, tapi beliau berkata (….. dari Thariq Ibnu Syihab dari Sulaiman berkata ( kemudian beliau menuturkannya) dan Sulaiman ini tidak dikenal. Penta’liq kitab Az-Zuhdi, berkata: (mungkin Salman Al-Farisy), dan atas dasar ini maka tidak tsabit status marfu’nya, dan bila tsabit dari Salman[6] maka bisa saja ia adalah israiliyyat, karena Salman pernah dikatakan bahwa ia adalah (Shahibul Kitabain) yaitu: Injil dan Al Furqan[7], beliau pernah berbaur dengan ahlul kitab yahudi dan nasrani. (Wallahhu a’lam akan yang benar). Bagaimana pun keadaannya, kabar yang keadannya seperti ini tidaklah boleh dijadikan sandaran hukum yang sangat berbahaya seperti takfir, sehingga dengannya keislaman dilenyapkan dan darah serta harta pun dihalalkan.
Kemudian saya berkata: Seandainya kabar ini betul shahih, maka istidlal orang yang berdalil dengannya terhadap pengkafiran dengan sebab paspor adalah tertolak dari berbagai sisi:
1. Bahwa ia adalah berita tentang umat sebelum kita, dan sudah ma’lum bahwa syari’at orang sebelum kita, bila bertentangan dengan syariat kita maka hal itu bukan syariat kita, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan bagi setiap umat syari’at dan jalan pada selain tauhid, dan yang dimaksud di sini adalah penghalang (takfir) ikrah, sungguh engkau telah mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menerapkan ikrah dan mensyari’atkannya sebagai salah satu mawani’ penetapan dosa dan takfir. Dan ia adalah termasuk kekhususan umat ini, serta ia termasuk beban yang ditetapkan atas umat sebelum kita dan Allah subhanahu wa ta’ala mangangkatnya dari kita, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits:
ان الله تجاوزلي عن أمتى الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه
“ Sesungguhnya Allah telah memaafkan bagiku dari umatku kekeliruan (karena tidak disengaja), lupa dan apa yang dipaksakan atas mereka.”[8]
Dan ini termasuk rahmat Allah dan pelapangan-Nya atas umat ini, sungguh umat sebelum kita tidak diudzur dengan sebab ikrah. Seandainya hadits itu shahih, tentulah itu khusus bagi mereka, karena kaum yang disebutkan dalam kabar itu membunuh orang yang tidak mempersembahkan, sedangkan di dalam syari’at kita ia adalah penghalang dari adzab dan takfier, karena masuknya ke dalam neraka orang yang mempersembahkan lalat dalam kondisi mukrah lagi diancam dibunuh itu adalah jelas bertentangan dengan syari’at kita. Sehingga tidak sah berdalil dengannya atas kita.
2. Sesungguhnya ancaman dengan masuk neraka saja tidak cukup untuk menunjukan terhadap kufur akbar, sebagaimana yang telah kami jelaskan kepada anda, dan itu menjadi lebih kuat bila tidak disertai penyebutan kekekalan dan selama-lamanya beserta hapusnya amalan, atau qarinah yang menunjukan bahwa ia tergolong ahli neraka yang mana neraka dipersiapakan bagi mereka dan mereka tidak akan keluar selamanya. Ini berdasarkan suatu yang tsabit bahwa di antara para muwwahiddin ada yang masuk ke dalam neraka dan disiksa sesuai kadar dosanya kemudian dikeluarkan dari neraka dengan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala dan dimasukkan ke dalam surga tempat tinggal kaum muwwahiddin.
3. Sesungguhnya izin keluar yang dengan sebabnya orang itu masuk neraka, di dalamnya ada syarat kekafiran. Dan kami tidak membolehkan permohonan untuk mendapatkan paspor atau membawanya bila mengandung syarat-syarat kekafiran, sedangkan orang-orang yang kami ingkari mereka atas pengkafirannya terhadap pembawa paspor, mereka itu mengkafirkannya secara umum saja dengan dengan sekedar permohonan pembuatan paspor tanpa ada syarat seperti ini. Dan mayoritas mereka menjadikan hukum asal pada permohonan dan pembuatan paspor adalah kekafiran dan tahakum kepada thagut. Perbedaan kita bukanlah tentang macam syarat kekafiran ini bila memang ada, dan bagaimanapun keadaannya sesungguhnya syarat itu adalah di luar paspor, dan paspor itu adalah izin untuk bergerak dan berpindah-pindah yang diberikan oleh thaghut yang berkuasa terhadap orang-orang yang tertindas di bawah kekuasaan mereka. Siapa yang membutuhkannya, mendapatkannya dan menggunakannya tanpa ada syarat kufur di dalamnya, maka apa alasannya ia dikafirkan?
3. Mengibarkan bendera-bendera orang kafir atau lambang-lambang mereka yang tidak jelas indikasinya terhadap kekafiran mereka pada realita hari ini yang terkaburkan, atau duduk di bawah gambar-gambar (photo) mereka yang mereka buat di lapangan terbuka atau di kantor-kantor pemerintah dan yang lainnya. Ini tidak halal takfir dengan sekedar hal ini saja. Adapun masalah bendera, sesungguhnya orang-orang yang mengkafirkan dengan sebabnya, sebagaimana yang kami dengar dari sebagian mereka hanyalah mengkafirkan dari dua sisi:
Pertama: Klaim bahwa pengagungannya atau penghormatannya adalah termasuk tergolong jenis pengagungan dan penghormatan terhadap berhala. Dan hal ini tidaklah tepat dan benar, karena ta’dhim (pengagungan) terhadap berhala adalah ta’dhim ta-alluh (pentuhanan) dan tanassuk (dalam rangka ibadah), sehingga ia adalah ibadah yang disertai rasa takut (khauf) pengharapan (raja’), di mana para penyembahnya memalingkan kepadanya sesuatu dari rasa rahbah (takut) dan raghbah (rasa kecintaan), mereka meyakini bahwa ia bisa mendatangkan mudharat dan manfaat atau mendekatkan mereka kepada ALLAH subhanahu wa ta’ala, oleh karena itu orang di antara mereka mengagungkannya dan mempertuhankannya. Sedangkan tadhim itu bila tidak disertai tanassuk, ta-alluh, khauf, cinta dan pengharapan, maka ia bukanlah ibadah dan bukan syirik, namun ia adalah jalan-jalan yang bisa menghantarkan kepada hal itu bila dirasuki ghuluw dan mubalaghah (berlebih-lebihan).
Dan begitu juga tidak setiap khauf adalah ibadah sebagaimana yang sudah maklum dalam kitab-kitab tauhid. Bendera dan lambang-lambang ini, saya tidak mengetahui bahwa seseorang menta’dhimnya dengan ta’dhim ta-alluh atau tanassuk, akan tetapi ia adalah ta’dhim yang berlebih-lebihan, sedangkan mubalaghah (berlebih-lebihan) dalam ikram (memuliakan), tauqir (mengagungkan) dan ihtiram (menghormati) yang dikhawatirkan menghantarkan kepada kemusyrikan bukanlah kemusyrikan dengan sendirinya, namun ia termasuk apa yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para sahabatnya berupa berdiri menghormati beliau sebagaimana yang dilakukan orang-orang ‘ajam terhadap raja-raja mereka, dan tatkala para sahabat melakukannya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sambil duduk ketika sakit, beliu melarang mereka dari hal itu seraya berkata: “Hampir saja kalian barusan melakukan perbuatan orang-orang Persia dan Romawi, mereka berdiri menghormati raja-raja mereka sedangkan raja-raja mereka duduk, maka maka janganlah kalian melakukannya.” HR.Muslim.
Dan dalam lafadzh riwayat Ahmad: ”Janganlah kalian berdiri seperti orang-orang ajam, mereka berdiri sambil menghormati satu sama lain.”[9] Dan itu bukan sebagai kekafiran dari mereka. Ta’dhim (pengagungan) dan berdiri serta yang lainnya, berupa penghormatan dengan tangan dan upacara-upacara bendera yang diciptakan dan diada-adakan oleh negara-negara di dunia, meskipun ta’dhim ini tidak boleh diberikan terhadap sehelai kain dan terhadap lambangnya dari lambang-lambang mereka lainnya, terutama bahwa bendera dan lambang-lambang itu melambangkan pada negara-negara baru ini yang telah merobek-robek persatuan daulatul Islam dengan segala batasannya, bendera-benderanya, lambang-lambangnya dan kewarganegaraannya, akan tetapi itu tidak sampai pada makna ibadah yang menyebabkan orangnya kafir.
Dan karena itu, maka tidak sah juga berdalil di sini untuk takfir dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (Al Baqarah: 238)
Karena qunut walaupun dipakai biasanya untuk berdiri lama, maka sesungguhnya yang dimaksud dengan berdiri di sini adalah shalat, ibadah, tanassuk dan ta-alluh yang di antaranya adalah doa, bukan umumnya berdiri yang termasuk di dalamnya berdiri yang mubah untuk tujuan apa saja, atau berdiri untuk menghormati atau mengagungkan yang memang dilarang dan ia bukan ibadah dan bukan pula kekafiran.
Dan para ulama telah menyebutkan sepuluh makna buat al qunut [10] di antaranya: lama berdiri, khusyu, tha’ah, do’a, dan diam. Sesungguhnya para sahabat dahulu di awal perintah shalat, mereka berbicara di dalam shalatnya, kemudian turunlah ayat ini (2:238), maka mereka dilarang dari hal itu dalam hadits Zaid Ibnu Arqam dalam Ash Shahihan dan yang lainnya, beliau berkata: ”Pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam orang mengajak bicara temannya dalam kebutuhannya di dalam shalat, sampai turun ayat ini: ”Berdirilah karena Allah Swt (dalam shalat) dengan khusyu” maka kami diperintahkan untuk diam.”
Maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan berdiri di sini adalah berdiri dalam keadaan shalat, bukan mutlak berdiri.
Dan selama keadaannya sesuai rincian ini, maka bila didapatkan orang yang berdiri terhadap bendera-bendera ini dalam rangka ibadah dan tanassuk dan shalat terhadapnya (dan saya pribadi tidak mengetahui keberadaan hal seperti ini termasuk di kalangan orang-orang kafir asli atau Majusi atau Hindu, Budha dan yang lainnya) namun demikian ini saya katakan: Bila hal seperti ini didapatkan pada sebagian orang, maka keadaan maksimal berdirinya keumuman manusia pada keadaan seperti ini adalah menjadi bagian dari perbuatan-perbuatan yang ihtimal dalam takfier yang pengkafiran dengannya membutuhkan pada tabayyun dan tatsabbut untuk mengetahui tujuan si pelaku di dalamnya. Di mana jadi hal itu adalah maksiat, kemungkaran, keburukan dan jalan-jalan kepada kekafiran, atau bisa jadi adalah ibadah yang mengkafirkan. Adapun pengkafiran dilontarkan di dalamnya atas setiap keadaan, maka ia itu tidak layak dan tidak tepat.
Dan di antara yang menjadikan bab ini juga tergolong hal-hal yang muhtamal dan dugaan-dugaan yang tidak boleh segera melakukan takfier dengannya tanpa tabayyun; adalah keberadaan panji-panji kaum muslimin di generasi-generasi awal yang utama serta berdalihnya banyak manusia saat mereka berinteraksi dengan bendera-bendera ini dengan hal itu.
Ibnul Qayyim berkata dalam Zadul Ma’ad (1/131): (Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki rayah (panji) hitam yang dinamakan ‘uqab, dan dalam Sunan Abi Dawud dari seorang sahabat, berkata: Saya melihat rayah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna kuning, dan beliau juga memiliki bendera-bendera putih, dan terkadang beliau jadikan hitam padanya.)
Dan dahulu kaum muslimin berkumpul dalam peperangan di seputar rayah-rayah ini, dan mereka selalu berupaya mengangkatnya agar tidak jatuh. Dan inilah di antara yang dijadikan hujjah oleh sebagian orang untuk membolehkan sikap mereka menta’dhim dan memuliakan bendera-bendera ini, serta mereka menuturkan dalam hal ini kisah kesyahidan Ja’far Ibnu Abi Thalib pada perang Mu’tah saat mengambil panji dengan tangan kanan, terus dipotong tangannya, kemudian beliau mengambilnya dengan tangan kirinya, terus dipotong tangannya kemudian beliau memeluknya hingga terbunuh, dan kerena itu beliau digelari Dzul Janahain sebagaimana dalam Al-Bukhari dari Ibnu Umar, bahwa beliau bila mengucapkan salam kepada Ibnu Ja’far berkata: “Semoga salam dilimpahkan kepada engkau wahai anak Dzul Janahain.”
Dan ini semua menjadikan hal ini tergolong hal-hal yang muhtamal sebagaimana yang telah kami katakan. Di samping ini sesungguhnya sebagian ulama telah melakukan rincian seperti ini dalam hal sujud yang mana ia lebih dahsyat dari berdiri, mereka membedakan antara sujud dengan maksud rububiyyah orang yang dilakukan sujud terhadapnya dengan apa yang terjadi pada banyak orang yang masuk menghadap raja ‘ajam berupa mencium bumi sebagai penghormatan dan penganggungan terhadap mereka. Mereka menganggap sujud yang pertama sebagai syirik terhadap Allah, dan mereka tidak menganggap yang kedua sebagai kekafiran sedikitpun.[11] Dan ini tentunya tidak berarti pembolehan sujud macam kedua ini yang perlakuannya disebutkan dari sebagian orang dalam buku-buku tarikh, sungguh engkau telah mengetahui larangan berdiri dalam rangka ta’dhim atau ikram, maka apa gerangan dengan sujud?[12] Akan tetapi bila para ulama saja melakukan rincian seperti ini dalam hal sujud, maka berdiri yang mana ia itu di bawahnya adalah lebih utama (akan rincian ini).
Sisi kedua: Klaim bahwa bendera-bendera ini melambangkan kepada pemerintah yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan. Mereka berkata: Siapa yang mengibarkannya, atau mengagungkannya atau memuliakannya, maka dia itu kafir karena ia termasuk wali-wali pemerintah kafir. Ini juga tidak sharih, akan tetapi ia adalah muhtamal, dan ia adalah seperti yang sebelumnya dalam kebutuhannya terhadap mencari kejelasan maksud si pelaku, karena sesungguhnya banyak manusia berinteraksi dengan bendera-bendera ini atas dasar bahwa ia itu adalah lambang bagi tanah air dan negeri dan bukan (lambang) bagi sistem dan pemeintah, karena pemerintah itu selalu berubah dan silih berganti, sistem jatuh dan pemerintahan berganti, dan jarang sekali bendera-bendera ini berubah. Dan contoh terdekat atas hal ini adalah apa yang dilakukan awam orang-orang Palestina dan kaum jahilnya berupa mengangkat bendera negeri mereka semenjak puluhan tahun, padahal di sana tidak ada sistem dan pemerintah yang berkuasa yang dilambangkannya. Perbuatan ini walaupun tergolong tasyabbuh dengan orang-orang kafir dan termasuk seruan jahiliyyah akan tetapi perselisihan itu bukan tentang hal ini, akan tetapi perselisihan itu hanyalah tentang keberadaannya apakah sebagai perbuatan mukaffir yang sharih dilalahnya ataukah sesungguhnya ia itu sebagai tanda yang muhtamal dari tanda-tanda kekafiran yang ia sendiri tidak cukup untuk memastikan hukum takfier, sedangkan yang rajih bagi kami adalah yang akhir ini, sehingga wajib membedakan dan merinci tentang maksud orang yang mengibarkannya dan (tentang) pemahamannya terhadap dilalahnya. Bila dia mengagungkannya, mengibarkannya, dan menjadikannya sebagai syiar yang dinisbatkan kepada pendukungnya dan negaranya dengan menganggap bendera itu sebagai lambang bagi pemerintah yang berkuasa yang menerapkan selain apa yang Allah turunkan, maka ini adalah perbuatan mukaffir karena di dalamnya terdapat makna keberpihakan kepada orang-orang kafir, penampakkan loyalitas terhadap mereka tanpa ada ikrah, dan pemberitahuan secara terang-terangan bahwa ia itu termasuk golongan, kelompok dan barisan mereka serta bahwa ia berada di barisan mereka yang memusuhi dien ini, dan pihak mereka yang menentang Allah dan Rasul-Nya serta golongan mereka yang melawan Syari’at
Dan bila ia mengibarkannya untuk selain itu dari makna-makna yang telah lalu, maka ia itu walaupun divonis jahil dan sesat namun tidak boleh kita mengkafirkannya dengan sekedar hal itu. Oleh sebab itu ada dalam kitab Ad-Durar As- Saniyyah Fil Ajwibah An- Nadjiyyah hal: 245 pada juz hukmul murtad dalam bantahan Syaikh Abdullah Ibnu Abdillathif Alu As Syaikh terhadap orang yang membolehkan perlindungan orang-orang kafir atau wakil mereka (yaitu masuk di bawah wilayah (perwalian mereka) dan mengambil bendera dari mereka untuk keselamatan harta dan perahunya, dan bahwa hal ini setara dengan teman (penunjuk jalan). Maka beliau menjawab dengan ucapannya: (Ini adalah qiyas yang bathil, karena mengambil teman (penunjuk jalan) untuk keselamatan harta adalah boleh bila keadaan mendesak hal itu dan si penunjuk jalan adalah orang muslim yang dhalim atau orang kafir yang fasiq.
Adapun masuk di bawah perlindungan orang-orang kafir, maka ia adalah kemurtaddan dari Islam, dan mengambil bendera dari mereka adalah tidak boleh bila dia itu tidak masuk di bawah perlindungan dan perwalian orang-orang kafir itu, dan ia itu tidak seperti mengambil khafir (penunjuk jalan) untuk melindungi harta, karena ini adalah bendera dan tanda yang menunjukkan bahwa mereka itu tunduk terhadap perintah mereka lagi masuk dalam perlindungan mereka, dan itu adalah sebagai bentuk persetujuan terhadap mereka secara dhahir)
Perhatikanlah, bagaimana beliau menjadikan kekafiran dan riddah di sini hanyalah pada hakikat masuk dalam perwalian dan perlindungan mereka, bukan dengan sekedar mengambil bendera dari mereka dan mengibarkannya tanpa masuk yang sebenarnya dalam perwalian mereka, hal ini walaupun tidak boleh sebagaimana yang dikatakan syaikh, akan tetapi ia bukan dengan sendirinya sebagai riddah dhahirah. Ya ia seperti yang dikatakan syaikh adalah tanda yang menunjukan ketundukan kepada perintah mereka dan masuk ke dalam perwalian mereka, sedangkan tanda itu sebagaimana yang telah engkau ketahui bukanlah sebab yang sharih lagi baku untuk takfier. Ini disertai pengingatan bahwa bila bendera yang dimaksud di sini adalah bendera Inggris yang mana ia melindungi-melindungi wali-walinya yang mengibarkannya di atas kapal-kapal mereka di peraian teluk, maka status mereka sebagai nashara dan kafir asli yang tidak intisab kepada Islam itu adalah lebih nyata dalam mengindikasikan bendera mereka itu kepada kekafiran (terutama dengan keberadaan salib padanya) dari bendera negara-negara yang mengaku Islam.
Inilah…. Sungguh sebagian orang telah menqiyaskan bendera-bendera ini terhadap salib, dan ini adalah tidak benar, dan ia adalah qiyas yang disertai adanya perbedaan, karena indikasi salib terhadap aqidah nashara yang kafir adalah jelas dan maklum lagi dhahir di tengah manusia. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menamakannya sebagai watsan (berhala) dalam hadits ‘Adiy Ibnu Hatim yang diriwayatkan At Tirmidzi dan Ibnu Jarir Ath-Thabariy, tatkala dia masuk menemui beliau sedangkan di lehernya ada salib yang terbuat dari emas, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Hai Addiy campakkan berhala ini dari lehermu” berbeda halnya dengan bendera-bendera dan lambang-lambang ini yang telah engkau ketahui indikasi-indikasi yang beragam yang terkandung di dalamnya, oleh sebab itu tidak halal takfier dengan sebab tashlib (palang) secara umum walaupun memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membiarkan tashlib di rumahnya kecuali beliau merobeknya, karena tidak setiap tashlib dan palang garis itu menunjukkan terhadap aqidah orang nashrani yang kafir atau melambangkan kepadanya. Jadi indikasi tashlib itu tidaklah seperti dilalah salib yang sharih, meskipun dianjurkan beserta ini semua perombakan segala bentuk tashlib, dan begitu juga status bendera-bendera dan lambang-lambang ini juga tidak ada perselisihan bahwa yang wajib adalah merobek dan melenyapkannya. Di samping ini semua sesungguhnya para thagut sebagai bentuk upaya serius dari mereka untuk mengkaburkan yang haq dengan kebathilan dan mempermainkan perasaan keagamaan di tengah masyarakat, mereka telah memasukkan ke dalam bendera-bendera dan lambang-lambang ini sebagian lambang-lambang Islam bahkan ciri-ciri khususnya secara terkadang, seperti kalimah tauhid dan syahadat atau lafadh takbir atau ayat:
“Jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu,” (Ali ‘Imran: 160) dan yang lainnya yang menjadikan masalah ikram (penghormatan), ihtiram (pemuliaan) dan ta’dhim terhadapnya menjadi hal musykil dari sisi ini, maka siapa yang berani membolehkan untuk menghinakannya dan mengingkari ikram dan ta’dhimnya beserta keberadaan hal seperti ini di dalamnya?? Dan ini semua menjaikan sikap bersegera untuk memastikan takfier orang yang mengibarkan bendera-bendera ini atau menghormatinya tanpa ada rincian sebagai sikap tergesa-gesa dan ngawur.
Dan di antara hal itu juga photo para thagut dan lambang-lambang mereka yang disebar para aparatnya di ruang pertemuan, ruangan-ruangan di apartemen mereka dan kantor-kantor pemerintahan serta yang lainnya. Maka tidak boleh menjadikannya secara menyendiri sebagai sebab untuk mengkafirkan orang yang duduk di bawahnya atau di sampingnya di tempat-tempat itu, terus setelahnya menghalalkan darah atau hartanya dengan sekedar perbuatan itu, baik dia itu dari kalangan pegawai atau orang-orang yang datang untuk meminta pelayanan atau kaum muslimin lainnya.
Sungguh bencana ini sudah merata di jalan-jalan raya mereka atau tempat-tempat fasilitas mereka hari ini, dan selama bagi seseorang tidak memiliki keinginan sendiri dalam memajangnya, maka tidak sah melakukan takfier dengan sekedar itu, sungguh di sekitar Ka’bah dan di atasnya pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat lebih dari 300 berhala, dan hal itu tidak menghalangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat di dekat Ka’bah sebagaimana dalam hadits ‘Amr Abnul ‘Ash yang diriwayatkan oleh Al-Bukhariy (3856), berkata (tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di hijrl Ka’bah tiba-tiba muncul ‘Uqbah Ibnu Abi Mu’aith terus dia meletakkan bajunya di leher beliau dan kemudian mencekiknya dengan keras…..)
Dan sebagaimana dalam sebab turun firman Allah Tabaraka wa ta’ala:
“Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil malaikat zabaniyah.” (Al ‘Alaq: 17-18) Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat dekat maqam Ibrahim, kemudian Abu jahal melewati beliau….)” Hadits ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Ibnu Jarir dalm tafsirnya, dan hadits-hadits lain yang menegaskan hal itu. Ini terjadi padahal shalat itu mungkin dilakukan jauh dari Ka’bah dan berhala-berhala itu. Dan keberadaan berhala-berhala itu tidak menghalangi beliau dari duduk dekat Ka’bah sambil berbantalkan jubahnya sedangkan berhala-berhala itu ada di sekitar beliau yang mana beliau tidak kuasa menghancurkannya[13] padahal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dipaksa untuk duduk di sana dan bisa duduk di tempat lain. Maka dalam hal ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa tidak mengapa hal itu dilakukan, dan sesungguhnya tidak berani mengkafirkan dengan sebab seperti hal itu saja kecuali orang yang ngawur yang telah mempertaruhkan diennya. Maka sekedar duduk tidaklah berarti ridla dengannya dan mengagungkannya atau mengikutinya terutama hal itu telah merata tanpa ada keinginan sendiri dari manusia, di mana hampir semua dompet orang muslim atau rumahnya tidak kosong dari uang mereka yang padanya terdapat gamba-gambar mereka dan lambang-lambang mereka .
Sungguh kaum muslimin pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelahnya di generasi-generasi yang utama bermu’amalah dengan mata uang Persia, Romawi dan yang lainnya karena saat itu kaum muslimin belum memiliki uang khusus mereka, dan tidak ada percetakan uang khusus milik mereka kecuali pada zaman Abdul Malik Ibnu Marwan. Kaum muslimin sebelum itu bermu’amalah dengan mata uang orang-orang kafir yang tidak kosong dari gambat thaghut-thaghut mereka, sebagaimana ia ma’ruf dan sisa dan peninggalannya ada hingga sekarang[14]
Kesimpulannya: Sesungguhnya sebagaimana tidak cukup tanda-tanda Islam saja untuk memastikan keIslaman seseorang tanpa ciri-ciri khususnya, namun yang wajib adalah tabayyun di dalamnya sebagaimana yang Allah perintahkan dan itu di selain Daarul Islam, maka begitu juga tidak cukup untuk memastikan hukum takfier dengan sekedar jalan-jalan yang menghantarkan kepada kekafiran dan tanda-tandanya yang mana ia itu bukan sebab-sebab yang baku lagi jelas untuk takfier, akan tetapi mayoritasnya termasuk hal-hal yang muhtamal, atau tergolong jenis dosa besar, maksiat dan mudahanah.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Doa ini dari seorang sahabat buat orang kafir untuk manfa’at kaum muslimin dengan jizyah yang dia berikan sebagaimana yang ditakwil oleh para sahabat, dan hal serupa diriwayatkan dari ibnu Umar sebagaimana di dalam Al-Mughniy (Kitabul Jizyah) (Fashl Wa Laa Yajuuzu Tashdiiruhum Fil Majalis Wa Laa Badaa-atuhum Bissalam). Dan ini telah lalu.
[2]. Bila dikatakan: Kenapa orang Nashrani ini tidak berpnampilan beda dan tidak berkomitmen dengan pakaian khusus yang kalian sebutkan dan syaratkan? Maka kami katakan: Ini adalah kejadian individu yang tidak diketahui sejarahnya, maka ini tidak merobek hukum asal yang mahsyur di dalam syarat-syarat kaum muslimin terhadap ahlul dzimmah, akan tetapi termasuk hal yang maklum adalah bahwa syarat-syarat ini belum ada lagi diharuskan terhadap kaum yahudi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala tiba ke Madinah beliau mengikat perjanjian dengan seluruh kaum yahudi di dalamnya dengan perjanjian yang muthlaq dan beliau tidak menerapkan jizyah atas mereka dan merekapun tidak terhinakan, karena perjanjian itu tidak ada kehinaan seperti yang terdapat dalam pembayaran jizyah. Dan lihat dalam hal itu dan tentang apa yang dituliskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam buat mereka dan apa yang beliau syaratkan atas mereka dan bagi mereka. (Ash-Sharimul Maslul hal 62 dan selanjutnya). Bukti masalah dari hal itu bahwa ahlul kitab di awal daulah Islam tidaklah berpenampilan beda dari kaum muslimin baik dalam hal rambut, pakaian dan yang lainnya. Akan tetapi setelah kaum muslimin kuat, dien ini nampak dan kokoh negaranya, maka ahlul kitab diharuskan hal itu. Dan nampak kejayaannya dan kesempurnaan negaranya terjadi pada kekhalifahan Umar sebagaimana dituturkan Syaikhul Islam dalam Al Iqtidha hal 192, dan beliaulah yang menetapkan syarat-syarat itu atas mereka, dan oleh sebab itu dikenal dengan syarat ‘Umariyyah…. Dan bisa saja kejadian itu terjadi sebelum hal itu.
[3] Yaitu yang jelas indikasinya bahwa itu adalah salib orang-orang nashrani yang menandakan aqidah mereka yang syirik. Adapun sekedar tanda palang (tashlib) bergaris dan potongan-potongannya yang terkadang ada pada baju atau yang lainnya berupa lukisan, bendera dan gambar, maka ini semua tidak halal takfier dengannya (walaupun ia itu adalah terlarang), karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (tidak pernah membiarkan di rumahnya suatupun yang mengandung tashlib melainkan beliau merombaknya) diriwayatkan oleh Al Bukhari (5952) dan dalam riwayat Al-Isma’iliy “suatu yang ada tashlibnya” akan tetapi kebencian beliau akan tashlib, perombakannya dan pelenyapannya dari pakaian untuk menghindari sarana-sarana dan sumber dugaan adalah sesuatu di luar takfier yang tidak boleh dilakukan kecuali dengan sebab salib yang jelas yang melambangkan aqidah syirik orang-orang nashrani. Dan suatu yang tidak sejelas seperti itu maka tidak boleh takfier dengannya, karena batas maksimal hal itu adalah tergolong hal-hal yang muhtamal, sedangkan engkau sudah tahu sikap wajib dalam hal itu.
[4] Oleh sebab itu banyak ulama membolehkan shalat yang memiliki sebab di waktu yang dilarang shalat di dalmnya, karena larangan di dalamnya bukan karena dzat shalat itu akan tetapi larangan dari menyerupai kaum musyrikin yang shalat kepada selain Allah dalam waktu-waktu ini, dan untuk menutup pintu kepada kemusyrikan. Bila jalan itu aman dan dibutuhkan shalat untuk mashlahat, maka dosa diangkat dan sebagai contoh silahkan lihat Majmu Al Fatwa:123.
[5] Dan tidak membedakan antara ini dan itu mengingatkan saya akan kepandiran si anggota parlemen terdahulu yang membesuk saya bersama mendagri di hari saat saya membantah mereka atas tuduhan yang mereka alamatkan kepada saya, yaitu tuduhan mengkafirkan semua manusia. Saya jelaskan bahwa kami hanya mengakfirkan pemerintah yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan serta para ansharnya, terus dia malah memotong perkataan saya seraya mengingkari lagi berdalih dengan sikap kami tidak berjabat tangan dan mengucapkan salam terhadapnya, dan tatkala saya katakan kepada dia: “kamu adalah bagian dari kekuasaan legislatif, maka kamu adalah bagian syirik dari pemerintah kafir ini, oleh sebab itu kami perlakukan kamu dengan ini”, maka dia berkata: kamu juga bagian dari sistem ini !! maka saya bertanya: Bagaimana? (yaitu dari bagian kekuasaan apa saya ini?) dia berkata: kamu makan dan minum dari pemerintah, maka kamu adalah bagian darinya…. (maksudnya makanan penjara)!! Perhatikan qiyas dia yang pincang dan pemahamannya yang sangat jauh. Dan sungguh telah saya katakan saat itu juga kepada orang yang bersama saya: (Sesungguhnya ucapan yang paling tepat dikatakan pada kesempatan ini adalah apa yang dinisbatkan kepada Asy syafi’iy: Saya tidak mendebat orang alim melainkan saya kalahkan dia dan saya tidak didebat oleh orang jahil melainkan dia mengalahkan saya!!)
6. Kemudian saya menemukannya setelah Allah membebaskan saya ada Al Hilyah (1/203) karya Abu Nu’aim dari Salman Al Farisi secara mauquf.
[7] Lihat Al isti’ab Ibnu Abdil Barr hal 196
[8] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Al Baihaqqi, Al Hakim (2/198), Ad Daruquthuny dan yang lainnya, walaupun ia itu dianggap cacat oleh Ibnu Abi Hatim dan yang lainnya, namun sesungguhnya para ‘ulama telah menerimanya karena ia memiliki banyak pendukung yang tsabit dalam Al Kitab dan As Sunnah, sebagaimana ia memiliki banyak jalan yang menunjukan bahwa ia memiliki dasar sebagaimana yang dituturkan As Sakhawi dalam Al Maqashid hal (230), oleh sebab itu An Nawawi menilai hasan dalam Al Arba’in.
[9]Al Musnad (5/253-256) dan Syaikhul Islam telah berbicara dalam Iqtidlaush Shiratal Mustaqim tentang indikasi hadits ini terhadap penyelisihan orang-orang ‘ajam dalam hal itu, dan bahwa hal itu tidak dimansukh dari sisi ini, termasuk atas pengandai-andaian penasakhan hukum shalat sambil duduk di belakang imam yang duduk, dan sungguh beliau telah menshahihkan statusnya sebagai yang muhkam di sisi itu juga.
[10] Asy Syaukaniy telah menuturkannya dalam Nauhal Authar (kitabul libas) (hal 83) (bab larangan berbicara dalam shalat) dalam bab-bab “hal yang membatalkan shalat”, dari Ibnu Arabiy berbentuk mandhumah (342).
[11] Lihat As Sailul Jararr karya Asy Syaukaniy 4/580, dan lihat dekat dari hal itu pemilahan Syaikhul Islam antara apa yang dilakukan oleh sebagian orang di hadapan para raja berupa mencium lantai dan membungkuk seperti ruku’ atau yang mengandung sujud dan hal-hal haram lainnya, dengan orang yang melakukan hal itu sebagai ibadah dan taqarrub, Majmu Al Fatawa (1/257) cet. Daar Ibnu Hazm, dan begitu juga pemilahan Ibnu Nujaim dalam Al-Bahrur Ar-Rayyiq (5134) antara sujud terhadap para penguasa bila dimaksudkan ibadah dengannya (kekafiran) dengan orang yang memaksudkan penghormatan dengannya (mayoritas Ulama tidak mengkafirkannya)
[12] Ada dalam (Ghayatul Muntaha Fil Jam’i Bainal Iqra’ wal Muntaha) karya Mar’iy Al Karmiy, bahwa sujud terhadap para penguasa dengan tujuan ibadah adalah kekafiran dan dengan tujuan penghormatan adalah dosa besar.
[13] Sebagaimana dalam hadits Khabbab riwayat Al Bukhari juga (Kami mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau berbantalkan jubah beliau di bawah ka’bah, kami berkata: Apa engkau tidak meminta pertolongan dan berdoa buat kami ?… ….
[14] Ulama ahli peninggalan menuturkan bahwa dirham perak yang dipakai pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dirham Persia yang terbuat di dalamnya setengah gambat Kisra (Raja) Persia. Adapun dinar emas maka ia adalah dinar Romawi yang terdapat di dalamnya gambar Kaisar Romawi dan kedua anaknya sambil membawa tongkat Patrick Nasrani, dan beberapa mata uang ini masih ada hingga sekarang. Dinukil dari makalah Dekan Fakultas Arkeologi di Universitas Kairo Ra-fat An-Nabrawiy
-----------------------------------------------------------------------------------
Demikian tulisan dari Syaikh Abu Muhammad Ashim Al Maqdisy.
Buat ukhti-ukhti muwahid, Insya Allah tulisan diatas akan kita bahas pada kajian hari senin nanti...
Barokallahu Fiikum..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar